MAKALAH SISTEM EKONOMI INDONESIA “ KAPITA SELECTA MASALAH SISTIM EKONOMI INDONESIA ”
MAKALAH
SISTEM EKONOMI INDONESIA
“ KAPITA SELECTA MASALAH SISTIM EKONOMI INDONESIA ”
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena rahmat dan
pertolongannya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dalam makalah
ini kami akan membahas tentang “KAPITA
SELECTA MASALAH SISTIM EKONOMI INDONESIA “. Semoga dengan adanya makalah ini
bisa membantu teman-teman.
Adapun yang menjadi tujuan penyusunan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas sistem ekonomi indonesia yang di berikan kepada
mahasiswa.
Dalam penulisan makalah ini, kami
banyak mengacu pada karya-karya tulis orang lain. Oleh karena itu kami
sangat menghormati dan menghargai pikiran-pikiran penulis lain, yang menjadi
sumber acuan dalam penulisan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa isi dan uraian makalah ini masih jauh dari sempurna. Karenanya
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk
penyempurnaan makalah ini.
Pada kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya dalam
pembuatan makalah ini.
Kiranya karya tulis ini dapat bermanfaat dalam upaya
menambah wawasan pengetahuan maupun teori Sistem Ekonomi Indonesia bagi para
pembaca.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ...........................................................................................
DAFTAR
ISI ..........................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN......................................................................................
A. Latar
Belakang ......................................................................................
B. Tujuan
Penulisan ...................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN ......................................................................................
BAB
III PENUTUP ...............................................................................................
A. Kesimpulan
...........................................................................................
B. Saran
.....................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA ...........................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
Di
negara Indonesia sendiri kemiskinan dan kesenjangan pendapatan warga negaranya
terlihat perbedaan yang sangat mencolok antar warga negaranya. Hal ini semakin
terlihat dengan status kemiskinan di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Kemiskinan dan kesenjangan pendapatan menimbulkan berbagai perilaku
negatif warga negaranya. Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan dan
tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak LDCs, tidak terkecuali
diIndonesia. Dikatakan besar karena jika masalah ini berlarut-larut atau
dibiarkan akan semakin parah dampak yang akan terjadi. Pada akhirnya akan
menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang sangat serius.
Merupakan
kenyataan bahwa upaya-upaya pembangunan selama ini yang telah dilakukan oleh
pemerintah telah menyebabkan terjadinya penurunan angka kemiskinan, walaupun
pergerakannya sangat kecil. Penurunan kemiskinan serta distribusi pendapatan
yang merata akan lebih baik dari sebelumnya, apabila beberapa alternatif
berikut bisa dilakukan oleh pemerintah: penetapan kegiatan dari program
penanggulangan kemiskinan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat
dengan pola pengelolaan kegiatan yang bertumpu pada kemampuan dan kemandirian
masyarakat agar masyarakat berperan aktif dalam seluruh proses pelaksanaannya;
sinkronisasi antara tujuan program dengan masalah yang dihadapi oleh masyarakat
miskin serta keadilan akan tercapai jika situasi politik, sosial, budaya dan
keamanan di negara Indonesia kondusif untuk melaksanakan pembangunan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Permasalahan
Pokok
Kesenjangan
ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat
berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok
masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang
berada dibawah garis kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Di
Indonesia, pada awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijakan dan
perencana pembangunan ekonomi di Jakarta masih sangat percaya bahwa proses
pembangunan ekonomi akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down
effects, yang menjadi salah satu topik penting didalam literatur mengenai
pembangunan ekonomi di negara berkembang pada dekade 1950-an dan 1960-an.
Didasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode orde baru hingga
akhir dekade 1970-an strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan
soeharto lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dalam satu periode yang relatif singkat. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pusat pembangunan ekonomi nasional dimulai di Pulau Jawa, khususnya di provinsi
Jawa Barat, dengan alasan bahwa semua fasilitas yang dibutuhkan seperti jalan
raya, pelabuhan, kereta api, telekomunikasi dan kompleks industri lebih
tersedia di provinsi ini dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia.
Pembangunan saat itu juga hanya terpusat pada sektor-sektor tertentu yang
secara potensial memiliki kemampuan besar untuk menghasilkan nilai tambah yang
tinggi. Mereka percaya bahwa nantinya hasil pembangunan itu akan menetes ke
sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Akan
tetapi sejarah menunjukan bahwa setelah 10 tahun berlalu sejak pelita I,
ternyata efek yang dimaksud itu mungkin tidak tepat untuk dikatakan sama sekali
tidak ada, tetapi proses mengalir kebawahnya sangat lambat. Akhirnya, sebagai
akibat dari strategi tersebut, pada dekade 1980-an hingga pertengahan dekade
1990-an, sebelum krisis ekonomi, Indonesia memang menikmati laju pertumbuhan
ekonomi yang relatif tinggi, tetapi tingkat kesenjangan juga semakin besar dan
jumlah orang miskin tetap banyak.
Sebenarnya
menjelang akhir dekade 1970-an, pemerintah sudah mulai menyadari keadaan
tersebut yang menunjukan buruknya kualitas pembangunan yang telah dilakukan
hingga saat itu. Sasaran utama pembangunan tidak lagi hanya pertumbuhan tetapi
juga kesejahteraan masyarakat. Disamping itu konsentrasi pembangunan juga tidak
hanya di jawa tetapi juga di luar jawa. Sejak itu perhatian mulai diberikan
pada usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya dengan
mengembangkan industri-industri yang padat karya dan sektor pertanian.
B. Perkembangan dan Konsep Kemiskinan
Pembicaraan mengenai kemiskinan
bisa meliputi berbagai aspek. Kemiskinan sangat terkait dengan kepemilikan
modal, kepemilikan lahan, sumber daya manusia, kekurangan gizi, pendidikan,
pelayanan kesehatan, pendapatan per kapita yang rendah dan minimnya investasi.
Masih banyak variabel kemiskinan yang melekat pada orang miskin. Dengan begitu,
konsep kemiskinan perlu didalami karena berpengaruh bagi program pengentasan
kemiskinan di daerah berdasarkan corak dan karakteristik kemiskinan itu
sendiri. Rasanya penyatuan gerak program pengentasan kemiskinan perlu
dilakukan, mengingat selama ini banyak ukuran-ukuran kemiskinan yang dipakai.
Misalnya Scott (1979) melihat kemiskinan
dari sisi pendapatan rata-rata per kepala dan Sen (1981) mengkaji kemiskinan
dari sudut pandang kebutuhan dasar (basic needs).
Di Indonesia, ukuran kemiskinan
yang terkenal adalah yang dibuat oleh sayogyo. Parameter kemiskinan tersebut
dengan mengukur kemiskinan dari konsumsi beras per kapita per tahun, yaitu
dibawah 420 kg bagi daerah perkotaan dan 320 kg di daerah pedesaan. Perbedaan
ini dapat dipahami karena dinamika kehidupan yang berbeda antara keduanya.
Penduduk di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif lebih beragam daripada
daerah pedesaan sehingga sehingga mempengaruhi
pola pengeluaran. Biro Pusat Statistik (1987) memakai patokan angka per
kapita pengeluaran Rp 20.614,00 untuk penduduk kota dan Rp 13.295,00 untuk
penduduk desa, yang dihitung selama sebulan untuk mengukur penduduk miskin.
Di luar itu, terdapat pandangan
lain dalam melihat kemiskinan di Indonesia, misalnya mengukur kemiskinan
melalui tingkat pendapatan dan pola waktunya. Sastraadmadja mengatakan bahwa
berdasarkan ukuran pendapatan, kemiskinan dapat dibedakan dalam kemiskinan
absolut dan kemiskinan relatif. Sedang berdasarkan pola waktu, dapat diteropong
dari (a) persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun
menurun; (b) cyclical poverty, yaitu
kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan; (c) seasonal
poverty, yaitu kemiskinan musiman yang sering dijumpai seperti pada kasus
nelayan dan pertanian tanaman pangan; (d) accident poverty, yaitu kemiskinan
yang tercipta karena adanya bencana alam, konflik dan kekerasan, atau dampak
dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan
suatu masyarakat.
Selanjutnya, kartasasmita
mengatakan bahwa seseorang dikategorikan miskin secara absolut, apabila tingkat
pendapatannya lebih rendah dari pada garis kemiskinan absolut, atau ketika
jumlah pendapatannya tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang
dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut tersebut.
Lembaga Pengembangan Sumber Daya
Manusia (lapesdam) mendefenisikan kemiskinan absolut sebagai ketidakmampuan
untuk memenuhi standar hidup sesuai dengan yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Kemiskinan absolut ini umumnya disejajarkan dengan
kemiskinan relatif, yang artinya adalah keadaan perbandingan antara kelompok
pendapatan dalam masyarakat. Intinya, kesenjangan antara kelompok yang mungkin
tidak miskin dan kelompok masyarakat yang relatif kaya. Dengan menggunakan
ukuran pendapatan, keadaan ini dikenal sebagai ketimpangan distribusi.
C. Pertumbuhan, Kesenjangan dan
Kemiskinan
1. hubungan
antara pertumbuhan dan kesenjangan.
Data dekade 1970-an dan 1980-an mengenai
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak negara berkembang,
terutama negara-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang pesat atau dengan
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menunjukan seakan-akan suatu korelasi
positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi: semakin tinggi
tingkat pertumbuhan PDB semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaya.
Bahkan suatu studi dari Ahuja, dkk, mengenai negara-negara di asia tenggara
menunjukan bahwa setelah sempat turun dan stabil, pada saati negara-negara itu
mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang tinggi, pada awal
dekade 1990-an ketimpangan distribusi pendapatan di negara-negara tersebut
mulai mengalami kemajuan pertumbuhan ekonomi kembali.
2. hubungan
antara pertumbuhan dan kemiskinan
dasar teori dari korelasi antara
pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda debgab kasus pertumbuhan dengan
ketimpangan. Pada awal tahap pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat
dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan, jumlah orang miskin
berangsur-angsur berkurang. Namun banyak faktor lain selain pertumbuhan yang
juga mempunyai pengaruh besar terhadap
tingkat kemiskinan di suatu wilayah, seperti struktu pendidikan, tenaga kerja
dan struktur ekonomi.
D. Beberapa Indikator Kesenjangan
Kemiskinan.
Ada
sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan
yang dapat dibagi kedalam dua kelompok pendekatan, yakni: axiomatic approach
dan stochastic dominance. Yang serigng digunakan dalam literatur (studi
empiris) adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yakni
the generalized entropy (GE), the atkinson measure dan Gini Coefficient.
Selain
tiga alat ukur tersebut, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan
terutama oleh bank dunia, adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan
menjadi tiga grup, yaitu penduduk dengan pendapatan rendah yang merupakan 40%,
penduduk dengan pendapatan menengah yang merupakan 40% dan penfufuk dengan
pendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk. Selanjjutnya,
ketidakmerataan pendapatan disuatu ekonomi diukur berdasarkan pendapatan yang
dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria bank
dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi
apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil
dari 12% dari jumlah pendapatan, tingkat ketidakmerataan sedang apabila
kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan, dan tingkat
ketidakmerataan rendah apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17%
dari jumlah pendapatan.
Untuk mengukur kemiskinan ada tiga indikator yang
diperkenalkan oleh foster dkk, yang sering digunakan dibanyak studi empiris.
Pertama the incidence of poverty yang menggambarkan persentase dari populasi
yang hidup didalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis
kemiskinan. Kedua, the depth of poverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan
disuatu wilayah yang diukur dengan indeks yang disebut the poverty gap index.
Indeks ini mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin
dari garis kemiskinan. Ketiga, the severity of poverty yang menunjukan
kepelikan kemiskinan disuatu wilayah. Indikator ini diukur dengan the poverty
gap index, yang memperhitungkan tidak hanya jarak yang memisahkan orang miskin
dari garis kemiskinan tetapi juga ketimpangan diantara orang miskin.
E. Penemuan Empiris.
1. distribusi
pendapatan.
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya
menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari survei
sosial ekonomi nasional. Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu
pendekatan untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat, walaupun diakui
bahwa cara demikian sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius.
Penggunaan data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi mengenai
pendapatan yang under estimate. Alasannya sederhana, jumlah pengeluaran konsumsi
seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya,
bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya
juga besar. Dalam hal ini berarti tabungan. Sedangkan apabila jumlah
pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah.
Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk mempunyai pengeluaran konsumsi
tertentu.
Demikian pula pengertian pendapatan yang
artinya pembayaran yang didapat karena bekerja atau menjual jasa, tidak sama
dengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar
daripada pendapatannya. Seseorang bisa
saja tidak punya pekerjaan , tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga.
Banyak pengusaha-pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat
pendapatan mereka tidak selalu berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena
perusahaan dimana mereka bekerja adalah milik mereka.
Akan tetapi, karena pengumpulan data
pendapatan di Indonesia, seperti halnnya dibanyak negara berkembang lainnya
masih relatif sulit, salah saatunya karena banyak rumah tangga dianggap sebagai
salah satu alternatif. Kalau dilihat pada tingkat agregat dengan memperhatikan
perkembangan sejumlah variabel ekonomi makro selama periode orde baru hingga
krisis ekonomi terjadi. Akan tetapi keberhasilan suatu pembangunan ekonomi
tidak dapat hanya diukur dari laju pertumbuhan output atau pendapatan secara
agregat atau perkapita, tetapi juga dan justru lebih penting lagi harus dilihat
dari pola distribusi peningkatan pendapatan tersebut kepada semua anggota
masyarakat.
2. Kemiskinan
Kemiskinan bukan hanya merupakan masalah
bagi negara indonesia, melainkan juga masalah dunia. Di Indonesia kemiskinan
merupakan masalah besar, terutama melihat kenyataan bahwa laju pengurangan
jumlah orang miskin ditanah air berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh
lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak
pelita I.
F.
Kebijakan Anti Kemiskinan
Pelaksanaan pembangunan tidak
semata-mata diarahkan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
tetapi juga ditekankan pada peningkatan pemerataan pendapatan, yang pada
gilirannya diharapkan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan antar golongan
penduduk dan mengentaskan kemiskinan. Dalam kaitannya dengan penanggulangan
kemiskinan, pemerintah telah dan sedang melaksanakan sekitar 69 program
penanggulangan kemiskinan. Secara teoritis, semakin banyaknya program
penanggulangan kemiskinan menjadikan jumlah kemiskinan dapat ditekan serendah mungkin.
Sistem pemerintahan desentralisasi juga memungkinkan pelayanan kepada
masyarakat miskin semakin cepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sayangnya, dari sejumlah hasil penelitian tentang program-program pengentasan
kemiskinan, ternyata hasilnya masih sama dengan sebelum digulirkan program
pengentasan kemiskinan tersebut.
Secara operasional, pemerintah
telah menyalurkan dana melalui DAU (dana alokasi umum) dan DAK (dana alokasi
khusus) serta sektoral. Melalui 14 bank umum, pemerintah telah menyalurkan dana
kredit bagi UKM (unit kegiatan masyarakat sebesar 32,5 triliun rupiah. Dana ini
tersalur 90% kedaerah yang seharunya membuka peluang dan akses bagi masyarakat
miskin. Walaupun begitu, tampaknya upaya tersebut belum mencapai hasil optimal
karena keterbatasan konsep pengurangan kemiskinan yang sesuai dengan karakteristik
masing-masing daerah. Pernyataan ini sangat terkait dengan pernyataan Halim
(2003) bahwa salah satu faktor penyebab kegagalan penanggulangan kemiskinan,
yakni pemerintah belum mempunyai peta masalah serta potensi yang ada di setiap
masyarakat.
Kalla (2003) mengatakan bahwa perlu
adanya komitmen secara bersama untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan
dalam propenas 2000-2004 untuk menurunkan penduduk miskin dari 18% tahun 2002 menjadi
14% tahun 2004. Setidaknya upaya-upaya pemerintah terus dilakukan, seperti pada
april 2001 sudah terbentuk badan
koordinasi penanggulangan kemiskinan (BKPK). Ada empat peran yang harus
disanggah oleh lembaga ini, yaitu sebagai koordinator, katalisator, mediator,
dan fasilitator. Sebagai koordinator, badan ini bertugas mengoordinasi
perumusan standar-standar dasar mengenai konsep kemiskinan yang digunakan oleh
berbagai instansi dipusat dan daerah. Sebagai katallisator, badan ini berupaya
untuk memecahkan kendala-kendala utama dalam pelaksanaan kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan. Sebagai mediator, badan ini diharapkan menjadi
wahana untuk menampung berbagai macam aspirasi. Sebagai fasilitator, badan ini
mampu menjadi penghubung antara para donor dengan pelaku utama.
Sebelum ini, pemerintah juga sudah
meluncurkan banyak program untuk mengurangi kemiskinan, misalnya (a) Inpres
Desa Tertinggal (IDT) dengan tujuan menciptakan kesetaraan desa dan menciptakan
lapangan pekerjaan; (b) inpres kesehatan
dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan yang mudah dan murah untuk
penduduk pedesaan. (c) inpres pendidikan berhubungan memberikan layanan
pendidikan gratis untuk pendidikan dasar sampai menengah. (d) inpres
obat-obatan yang bertujuan memberikan obat-obatan yang murah kepada masyarakat
miskin. Disamping inpres, pemerintah
juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tujuannya meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan penduduk.
Dalam rangka menerjemahkan
paradigma baru yang memaklumatkan bahea orang miskin merupakan aktor utama, ada
beberapa isu sentral yang menjadi fokus
perhatian bagi upaya penanggulangan kemiskinan, yakni sebagai berikut:
1. Upaya
penanggulangan kemiskinan harus bersifat local spesific. Maksudnya bahwa
penanggulangan kemiskinan harus dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan
masyarakat lokal sesuai dengan kondisi di daerah tersebut.
2. Upaya
penanggulangan kemiskinan harus diikuti dengan perbaikan faktor-faktor produksi
melalui : a) penetapan kebijakan land refform melalui peraturan daerah; b)
terciptanya demokrasi ekonomi rakyat dengan mengembangkan sistem ekonomi
kerakyatan; c) terbentuknya lembaga keuangan mikro untuk membiayai usaha
ekonomi masyarakat; dan d) perlunya partisipasi yang lebih proporsiional bagi
kaum wanita dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pemantauan dari
kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan.
3. Upaya
penanggulangan kemiskinan harus dilakukan dengan pendekatan pembangunan ekonomi
rumah tangga.
4. Program
penanggulangan kemiskinan harus merupakan program yang produktif dan memberi
sumbangan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat miskin di tingkat akar
rumput secara berkelanjutan dan dengan pendampingan intensif.
5. Agenda
penanggulangan kemiskinan harus menjadi agenda nasional dengan dua area sasaran
aksi, yakni a) menciptakan kebijaksanaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan
penduduk miskin melalui upaya peningkatan pendapatan; b) meningkatkan pelayanan
masyarakat yang efektif dan tepat menjangkau penduduk miskin.
6. Penanggulangan
kemiskinan merupakan gerakan masyarakat yang dilakukan sendiri oleh masyarakat
dan hasilnya untuk masyarakat penduduk miskin sebagai pelaku penanggulangan
kemiskinan.
7. Dalam
suasana demokratisasi dan desentralisasi, upaya penanggulangan kemiskinan
secara berkelanjutan tidak dapat terlepas dari berbagai hal yang terkait,
yaitu: a) terselenggaranya praktik pemerintahan yang baik; b) pembagian peran
yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah; c) kerja sama (partnership)
antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil dalam penanggulangan kemiskinan;
d) upaya pemberdayaan masyarakat yang bertumpu pada kekuatan setempat.
8. Strategi
penanggulangan kemiskinan dalam era otonomi harus memenuhi syarat a) sederhana
agar mudah dipahami serta dapat menggerakan aktivitas ekonomi masyarakat
setempat; b) open menu, dalam arti masyarakat lokal diberi ruang otonom untuk
menentukan aktivitas ekonomi yang dibutuhkan; c) partisipasi yang menyeluruh
dalam arti pengelolaannya melibatkan multistake holder; d) keterbukaan
informasi agar masyarakat dapat mengetahui dan memberikan kontribusi, bahkan
melakukan kompetisi; e) pengelolaan
program dan dana yang harus transparan.
9. Operasional
strategi penanggulangan kemiskinan harus dilaksanakan dengan menerapkan
koordinasi, katalisasi, mediasi dan fasilitasi.
BAB
III
PENUTUP
Merupakan kenyataan
bahwa upaya-upaya pembangunan selama ini yang telah dilakukan oleh pemerintah telah
menyebabkan terjadinya penurunan angka kemiskinan, walaupun pergerakannya
sangat kecil. Penurunan kemiskinan serta distribusi pendapatan yang merata akan
lebih baik dari sebelumnya, apabila beberapa alternatif berikut bisa dilakukan
oleh pemerintah.
a)
Penetapan kegiatan dari setiap program
penanggulangan kemiskinan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
b)
Sinkronisasi antara tujuan program
dengan masalah yang dihadapi oleh si miskin.
c)
Keterlibatan msyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi dan monitoring sehingga posisi
yang miskin sebagai aktor dalam membangun keberdayaan mereka sendiri
d)
Pengidentifikasian nama, jumlah dan
penyebaran penduduk miskin harus dilakukan secara bottom up, karena masyarakat
sendirilah yang lebih mengetahui sesama warga desanya yang hidup dalam kondisi
miskin.
Daftar
Pustaka
Tulus T.H. Tambunan.
Perekonomian indonesia; teori dan temuan empiris.
Ahmad Erani Yustika.
2004. Perekonomian indonesia: deskripsi, preskripsi dan kebijakan.
Komentar
Posting Komentar